BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Penyakit kardiovaskuler
(PKV) merupakan penyebab kematian utama di negara maju seperti Amerika Serikat,
Eropa, dan banyak negara di Asia. Diperkirakan pada milenium mendatang PKV akan
menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia.(1) Secara umum dikenal berbagai
faktor risiko tradisional yang dapat menimbulkan aterosklerosis seperti
dislipidemia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus dan adanya riwayat
keluarga.(1,2) Faktor risiko tersebut hanya dapat menentukan 50-60% variasi
kejadian koroner secara individual, bahkan ada suatu penelitian yang
menunjukkan 80% penderita jantung koroner (PJK) dengan kadar kolesterol total
sama tinggi dengan yang non PJK.(2,3) Beberapa studi intervensi menunjukkan bahwa
mereka yang telah berhasil diturunkan kadar kolesterol total dan kolesterol low
density lipoproteinnya (LDL) masih tetap menunjukkan progresifitas aterosklerosis
secara arteriografik. Alasan kejadian ini adalah pada penderita tersebut 31 J
Kedokter Trisakti Januari-April 2002, Vol.21 No.1 terdapat mekanisme lain
selain hanya peningkatan lipid semata.(3) Oleh sebab itu kini bermunculan berbagai
faktor risiko non tradisional atau faktor risiko baru yang berkaitan dengan
aterosklerosis dan trombosis antara lain lipoprotein (a), LDL kecil padat,
plasminogen activator inhibitor (PAI-1), faktor von Willebrand (vWF), dan
homosistein.(1,2) Hubungan peningkatan homosistein dengan penyakit vaskuler
pertama kali dikemukakan oleh Mc Cully pada tahun 1969.(1) Ia melaporkan adanya
aterosklerosis disertai disertai trombosis arteri pada otopsi dua orang anak
yang mempunyai kadar homosistein darah dan urin yang tinggi.
Homosistein merupakan faktor risiko stroke yang baru dan masih terus diteliti. Penelitian terdahulu menduga adanya hubungan antara peningkatan kadar homocysteine dan risiko atherosclerosis. Hasil penelitian terdahulu masih kontroversial. Homocysteine akan meningkat pada kerusakan jaringan, sehingga muncul kontroversi apakah peningkatan homocysteine sebagai kausa atau efek. Penelitian prospektif yang menilai hyperhomocysteinemia sebagai faktor risiko stroke iskemik pada penderita dengan penyakit vskuler masih terbatas. Sebuah penelitian prospektif yang menarik untuk disimak adalah: Prospective Study of Serum Homocysteine and Risk of Ischemic Stroke Among Patients with Preexisting Coronary Heart Disease yan dilakukan oleh Tanne D, Haim M, Goldbount D (2003) dimuat di majalah Stroke, 34;632‐636
Penelitian ini menilai secara prospektif hubungan homocysteine dengan risiko stroke iskemik pada pasien dengan riwayat penyakt vaskuler. Metode penelitian adalah dengan Penelitian kasus kontrol pada penelitian prospektif Bezafibrate Infarction Prevention Study. Batasan CHD adalah : (1) Riwayat infark miokard (> 6 bulan‐< 5 tahun), dan (2) Riwayat angina pektoris (konfirmasi dari angiografi koroner, scintigrafi, tes latihan). Rata‐rata follow up 8,2 tahun (6,7‐9,6 tahun). Insidensi stroke dilakukan dengan (1) Batasan WHO, (2) Head CT Scan, dan (3) Skala Rankin.
BAB II
ISI
1.
Pengertian
Homosistein adalah asam amino alami,
yang jika berada dalam kadar yang tinggi dalam darah, dapat meningkatkan resiko pembekuan darah. Kondisi ini dikenal
dengan hiperhomosisteinemia. Orang dengan hiperhomosistein bisa saja
mendapatkan pembekuan darah di pembuluh darah vena (seperti trombosis vena
bagian dalam dan emboli paru) atau di arteri (misalnya stroke dan serangan
jantung). Hal ini dipercaya bahwa tingkat
darah tinggi dari homosistein dapat merusak lapisan pembuluh darah. Kerusakan
inilah yang dapat menyebabkan pembekuan darah. Selain dapat membuat seseorang
rentan terhadap pembekuan darah, hiperhomosisteinemia juga akan meningkatkan
resiko cacat lahir, demensia (misalnya penyakit Alzheimer), dan patah tulang.
Penyebab umum terjadinya hiperhomosisteinemia
berupa penyakit ginjal, kekurangan vitamin B (seperti folat, vitamin B12,
dan vitamin B6), hipotiroid, alkohol dan obat-obatan tertentu.
Hyperhomocysteinemia
atau hiperhomosisteinemia adalah kondisi medis yang ditandai dengan tingkat
normal besar homosistein dalam darah.
Sebagai konsekuensi dari reaksi biokimia di mana homosistein yang terlibat, kekurangan dari vitamin piridoksin (B6), asam folat (B9), atau B12 dapat menyebabkan kadar homosistein yang tinggi. Suplementasi dengan piridoksin, asam folat, B12, atau trimethylglycine (betain) mengurangi konsentrasi homosistein dalam aliran darah.
Sebagai konsekuensi dari reaksi biokimia di mana homosistein yang terlibat, kekurangan dari vitamin piridoksin (B6), asam folat (B9), atau B12 dapat menyebabkan kadar homosistein yang tinggi. Suplementasi dengan piridoksin, asam folat, B12, atau trimethylglycine (betain) mengurangi konsentrasi homosistein dalam aliran darah.
Hyperhomocysteinemia adalah penyakit
yang meningkatkan risiko arteri atau penyakit pembuluh darah.
Hyperhomocysteinemia biasanya terjadi pada orang
dengan setidaknya satu gen yang rusak, yang mempengaruhi pemecahan homosistein.
Hal ini sering dikaitkan dengan folat atau defisiensi cobalamin serta cacat genetik. Keparahan gejala ditentukan
oleh seberapa
tinggi tingkat homocysteine. Penderita umumnya tanpa gejala sampai
timbulnya dini penyakit arteri di kemudian hari. Gejala lain seperti
keterbelakangan mental hanya terjadi pada kasus yang berat dimana kadar homosisteinsangat tinggi.
Hyperhomocysteinemia adalah tingkat
tinggi homosistein dalam darah manusia. Tingkat tinggi homocysteine membuat seseorang lebih rentan terhadap
cedera endotel, yang menyebabkan peradangan pembuluh darah, yang pada
gilirannya dapat menyebabkan aterosklerosis, yang dapat menyebabkan cedera
iskemi, hyperhomocysteinemia. Karena itu merupakan faktor risiko untuk penyakit
arteri koroner. Penyakit arteri koroner adalah ketika
sebuah aterosklerosis menyebabkan oklusi dari lumina dari arteri
koroner.Pembuluh nadi mensuplai jantung dengan darah teroksigenasi.
2.Hyperhomosisteinemia
1.
DEFINISI HIPERHOMOSISTEINEMIA
Suatu
bentuk trombofilia diperoleh akibat tingginya kadar homosistein dalam darah.
Hal ini sering dikaitkan dengan defisiensi folat atau kobalamin serta cacat
genetik. Keseriusan gejala tergantung pada seberapa tinggi kada homosistein
dalam darah. Penderita umumnya tidak merasakan gejala apapun (asymptomatis). Gejala lain seperti
keterbelakangan mental hanya terjadi pada kasus yang berat dimana kadar
homosistein sangat tinggi.
2.
DIAGNOSIS
Diagnosis
hiperhomosisteinemia dibuat dengan mengukur tingkat homosistein total dalam
darah. Beberapa orang mewarisi kecacatan yang disebabkan karena
hiperhomosisteinemia. Dalam kasus yang langka, pewarisan kecacatan dalam gen,
menghasilkan bentuk yang parah darah hiperhomosisteinemia, yang disebut dengan
homosistinuria. Orang yang terkena homosistiuria memiliki resiko yang sangat
tinggi terhadap pembekuan darah, dan juga menderita keterbelakangan mental,
kelainan tulang, dan masalah penglihatan.
3.
GEJALA
Kelainan
pembuluh darah Atherosklerosis : Suatu kondisi yang merupakan salah satu bentuk
dari arteriosklerosis, dimana athreomas disebabkan oleh agregasi kolesterol dan
lipid. Asymptomatic : Thrombosis : Pembekuan darah yang terjadi di dalam
pembuluh darah. Keropos tulang: Sebuah kondisi yan ditandai dengan hilangnya
kepadatan tulang dalam tubuh.
4.
PENGOBATAN
Tujuan
utama dari pengobatan ini adalah menurunkan kadar darah dari homosistein
menjadi normal. Pengobatan dapat terdiri dari pemberian suplemen asam folat,
obat antikoagulan (pengencer darah).
Pasien
dengan homosistinuria sering diberikan vitamin B6 atau betaine dengan dosis tinggi dan jumlah
metionin yang dikonsumsi dalam diet, dapat dibatasi.
5. PENYEBAB
·
Defisiensi
Cystathionine beta-synthase
·
Defisiensi
Methylenetetrahydrofolate reductase
·
Defisiensi
Folat
·
Defisiensi
Vitamin B6
Penyebab
hiperhomosisteinemia adalah multifaktoral.
a.
Genetik
Pada
homosistinuria homozigot aktivitas enzim sistasional β sintase sangat rendah bahkan tidak terdeteksi,
sedang kadar homosistein darah meningkat. Karena gen untuk enzim sistasionin β sintase terletak pada
kromosom 21, maka pada sindroma Down,
atau trisomi 21 dapat dijumpai keadaan yang sebaiknya yaitu peningkatan enzim
sistasionin β sintase. Penurunan kadar
homosistein plasma dijumpai pada 8 anak dengan sindroma Down. Pengaruh genetik pada konsentrasi homosistein plasma juga
terlihat pada orang normal dan pada pasien dengan penyakit vaskuler.
b.
Age/gender
Kadar
homosistein plasma meningkat seiring dengan peningkatan usia. Penyebabnya
kemungkinan adanya penurunan kadar kofaktor atau adanya kegagalan ginjal yang
sering dijumpai pada pasien lanjut usia. Selain itu aktivitas enzim sistasionin
β sintase juga menurun seiring dengan bertambahnya usia.
c.
Jenis Kelamin
Secara
umum, laki-laki mempunyai kadar homosistein yang lebih tinggi dari wanita.
Sesudah menopause konsentrasi homosistein akan meningkat. Perbedaan kadar
homosistein pada wania dan pria mungkin disebabkan perbedaan hormon sex tehadap
metabolisme homo sistein. Selain itu kadar kreatinin atau massa otot yang besar
pada pria juga berpengaruh.
d.
Renal function
Terdapat
korelasi postif antara kadar homosistein dan kreatinin serum, walaupun
mekanismenya belum jelas. Kelainan artriosklerosos renovaskuler dan faktor
prerenal juga sangat penting. Pada gagal ginjal kronik kadar homosistein plasma
akan meningkat 2-4 kali dari normal. Konsentrasi ini akan menurun setelah
dialisis. Peningkatan homosistein pada gagal ginjal mungkin disebabkan gangguan
metabolisme.
e.
Nutrition
Kadar
homosistein akan sangat meningkat pada defisiensi kofaktor vitamin B12
atau folat. Korelasi negatif antara kadar folat serum dan B12 telah
terbukti pada orang normal. Hiperhomosisteinemia didapat antara lain disebabkan
oleh defisiensi asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12. Untuk
memperoleh kadar homosistein yang optimal diperlukan kadar yang cukup dari
ketiga vitamin itu. Asupan vitamin B6 yang dianjurkan untuk pria
adalah 2mg/hari sedang wanita 1,6 mg/hari.
f.
Penyakit
Terdapat
beberapa penyakit yang dihubungkan dengan peningkatan kadar homosistein plasma
yaitu psoriasis, keganasan dan pemakaian obat-obatan. Psoriasis yangberat
dihubungkan dengan peningkatan kadar homosistein plasma. Pada suatu penelitian
didapatkan penderita psoriasis mempunyai kadar folat yng lebih rendah dari
kelompok kontrol. Peningkatan kadar homosistein juga dijumpai pada leukimia
limfoblastik akut. Selain itu beberapa keganasan seperti kanker payudara,
ovarium dan pankreas juga menunjukkan peningkatan kadar homosistein. Plasma
homosistein juga dipengaruhi oleh obat-obatan seperti methorexate, nitrous oxide, phenytoin, carhamazepine, azaribine, kontrasepsi
oral dan penicillamine.
6.
PENGOBATAN HIPERHOMOSISTEINEMIA
Peningkatan
kadar homosistein plasma dapat diturunkan secara bermakna dengan terapi vitamin
B dan folat terkecuali penderita homosistinuria dengan kadar honosistein yang
amat tinggi. Dosis optimal dan terapi kombinasi belum ditentukan dengan pasti,
tetapi anjuran di bawah ini dapat dipakai sebagai pedoman.
Asam
folat dengan dosis 1-2 mg/hari merupakan pilihan pertama, biarpun dosis 400 ug/
hari sudah cukup untuk penderita dengankelainan primer defisiensi folat.
Kebanyakan suplemen multivitamin mengandung 40 ug. Pemakaian piridoksin dengan
dosis 10-25 mg/hari dapat berguna sebagai terapi tambahan pada penderita yang
penurunan homosisteinnya kurang memadai dengan terapi asam folat. Terapi dengan
vitamin B12 saja kurang efektif untuk menurunkan kadar homosistein,
kecuali pada defisiensi vitamin B12.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
·
Hyperhomocysteinemia
adalah penyakit yang meningkatkan risiko arteri atau penyakit pembuluh darah.
·
Hyperhomocysteinemia
biasanya terjadi pada orang dengan setidaknya satu gen yang rusak, yang
mempengaruhi pemecahan homosistein.
·
Diagnosis hiperhomosisteinemia dibuat
dengan mengukur tingkat homosistein total dalam darah.
·
Penyebab hiperhomosisteinemia adalah
multifaktoral : Genetik, age/gender, jenis kelamin, renal function, nutrition,
penyakit dan nutrition.
No comments:
Post a Comment