Friday, 4 May 2012

PATOLOGI DIFTERIA


MAKALAH PATOLOGI DASAR
DIFTERIA


    

Oleh:
Novriansyah Surahman
103100028



POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN TANJUNGKARANG JURUSAN GIZI
2011/2012


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

1.2 TUJUAN
a) Mampu melakukan pengkajian pada anak dengan Difteri
b) Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien anak dengan Difteri
c) Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada anak dengan Difteri
d) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien anak dengan Difteri
e) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan Difteri 






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1.     Pengertian

Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh corynebacteri um diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang. Dengan adanya imunisasi aktif pada masa anak-anak dini.
(Merensien kapian Rosenberg, buku pegangan pediatric, Hal. 337)
Difteri adalah suatu infeksi, akut yang mudah menular dan yang sering diserang adalah saluran pernafasam bagian atas dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”.
(Ngastiyah perawatan anak sakit, edisi 2 Hal. 41)
Diferi adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari corynebacterium diphtheriae (c. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas murosasaluran pernafasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit letak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membrane kelabu yang menutupi tansil serta bagian saluran pernafasan.
 
(
www.podnova.com) 

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tansil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. 
(
www.padnova.com)




2. Patofisiologi


a.     Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 60oc selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering. 

b.     Manifestasi Klinis
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.
          Klasifikasi difteri :
1.     Difteria hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian secret yang keluar tercampur sedikit yang berasal dari pseudomembren. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai foring dan laring.




2.     Difteria faring dan tonsil (difteria fausial)
Paling sering dijumpai (I 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran, dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.
Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya berapa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck)
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabkan oleh paresisi palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar haemoglobin dan leukositosis, polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.
 
3.     Diftheria Laring dan trachea
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil (3 kali lebih banyak dari pada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat. Slanosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trake ostomi sebagai pertolongan pertama.
4.     Diftheria Faeraneus
Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie (1965) mendapatlan 30% infeksi kulit yang diperiksanya megandung kuman diphtheria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.



c.      Komplikasi

a.      Aluran Pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopnemonia atelaktasio

b. Kardiovaskuler
Miokarditir akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini

c. Urogenital
 
Dapat terjadi Nefritis

d. Susunan daraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai system susunan saraf terutama system motorik
 
Paralisis / parese dapat berupa :
 
1. Paralasis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan sifatnya reversible dan terjadi pada minggu ke satu dan kedua.
 
2. Paralisis / paresis otot-otot mutu, sehingga dapat mengakibatkan strabisinus gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang setelah minggu ke tiga.
 
3. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu ke 4, kelainan dapat aotot muka, leher anggota gerak dan yang paling penting dan berbahaya bila mengenai otot pernafasan. 

3. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Mandiri
Terdiri dari : Perawatan yang baik, istirahat mutlak ditempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG tiap minggu. 

2. Penatalaksanaan Medis

a. Anti Diphteria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 untuk hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desentitisasi dengan cara besderka

b. Antibiotika diberikan penisilan 50.000 untuk kgbb/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mm/kg bb/hari dibagi 4 dosis.

c. Kortikosteroid obat ini di maksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednison 2 mg/kkbb/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.














BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan psudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian faring yang lain. Membrane ini tidak mudah robek dan bewarna keabu-abuan. Jika membran ini dilepaskan secara paksa maka lapsan lender dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udaraaau secara tiba-tiba bias terlepas dan menyumbat saluran udara sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

B.    Saran 
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.
Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2x berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak langsung dengan anak (APD). 














Daftar Pustaka

Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku :Diagnosa keperawatan edisi: 8 Peneterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Staf pengajar Ilmu kesehatan Anak.2005.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta: Fkui


HYPERHOMOSISTEIN


BAB I
PENDAHULUAN
I.1        Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler (PKV) merupakan penyebab kematian utama di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan banyak negara di Asia. Diperkirakan pada milenium mendatang PKV akan menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia.(1) Secara umum dikenal berbagai faktor risiko tradisional yang dapat menimbulkan aterosklerosis seperti dislipidemia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus dan adanya riwayat keluarga.(1,2) Faktor risiko tersebut hanya dapat menentukan 50-60% variasi kejadian koroner secara individual, bahkan ada suatu penelitian yang menunjukkan 80% penderita jantung koroner (PJK) dengan kadar kolesterol total sama tinggi dengan yang non PJK.(2,3) Beberapa studi intervensi menunjukkan bahwa mereka yang telah berhasil diturunkan kadar kolesterol total dan kolesterol low density lipoproteinnya (LDL) masih tetap menunjukkan progresifitas aterosklerosis secara arteriografik. Alasan kejadian ini adalah pada penderita tersebut 31 J Kedokter Trisakti Januari-April 2002, Vol.21 No.1 terdapat mekanisme lain selain hanya peningkatan lipid semata.(3) Oleh sebab itu kini bermunculan berbagai faktor risiko non tradisional atau faktor risiko baru yang berkaitan dengan aterosklerosis dan trombosis antara lain lipoprotein (a), LDL kecil padat, plasminogen activator inhibitor (PAI-1), faktor von Willebrand (vWF), dan homosistein.(1,2) Hubungan peningkatan homosistein dengan penyakit vaskuler pertama kali dikemukakan oleh Mc Cully pada tahun 1969.(1) Ia melaporkan adanya aterosklerosis disertai disertai trombosis arteri pada otopsi dua orang anak yang mempunyai kadar homosistein darah dan urin yang tinggi.
Homosistein merupakan faktor risiko stroke yang baru dan masih terus diteliti. Penelitian  terdahulu menduga adanya hubungan antara peningkatan kadar homocysteine dan risiko atherosclerosis. Hasil penelitian terdahulu masih kontroversial.  Homocysteine akan meningkat pada kerusakan jaringan, sehingga muncul kontroversi apakah peningkatan homocysteine sebagai kausa atau efek. Penelitian prospektif yang menilai hyperhomocysteinemia sebagai faktor  risiko stroke iskemik pada penderita dengan penyakit vskuler masih terbatas. Sebuah penelitian prospektif yang menarik untuk disimak adalah: Prospective Study of Serum Homocysteine and Risk of Ischemic Stroke Among Patients with Preexisting Coronary Heart Disease yan dilakukan oleh Tanne D, Haim M, Goldbount D (2003) dimuat di majalah Stroke, 34;632636 
Penelitian ini menilai secara prospektif hubungan homocysteine dengan  risiko stroke  iskemik pada pasien dengan riwayat penyakt vaskuler. Metode penelitian adalah dengan Penelitian kasus kontrol pada penelitian prospektif Bezafibrate Infarction Prevention Study. Batasan CHD adalah : (1) Riwayat infark miokard (> 6 bulan< 5 tahun), dan (2) Riwayat angina pektoris (konfirmasi dari angiografi koroner, scintigrafi, tes  latihan). Ratarata follow up 8,2 tahun (6,79,6 tahun).  Insidensi stroke dilakukan dengan (1) Batasan WHO, (2) Head CT Scan, dan (3) Skala Rankin. 












BAB II
ISI
1.      Pengertian
Homosistein adalah asam amino alami, yang jika berada dalam kadar yang tinggi dalam darah, dapat meningkatkan  resiko pembekuan darah. Kondisi ini dikenal dengan hiperhomosisteinemia. Orang dengan hiperhomosistein bisa saja mendapatkan pembekuan darah di pembuluh darah vena (seperti trombosis vena bagian dalam dan emboli paru) atau di arteri (misalnya stroke dan serangan jantung). Hal ini dipercaya bahwa tingkat darah tinggi dari homosistein dapat merusak lapisan pembuluh darah. Kerusakan inilah yang dapat menyebabkan pembekuan darah. Selain dapat membuat seseorang rentan terhadap pembekuan darah, hiperhomosisteinemia juga akan meningkatkan resiko cacat lahir, demensia (misalnya penyakit Alzheimer), dan patah tulang. Penyebab umum terjadinya hiperhomosisteinemia  berupa penyakit ginjal, kekurangan vitamin B (seperti folat, vitamin B12, dan vitamin B6), hipotiroid, alkohol dan obat-obatan tertentu.
Hyperhomocysteinemia atau hiperhomosisteinemia adalah kondisi medis yang ditandai dengan tingkat normal besar homosistein dalam darah.
Sebagai konsekuensi dari reaksi biokimia di mana homosistein yang terlibat, kekurangan dari vitamin piridoksin (B6), asam folat (B9), atau B12 dapat menyebabkan kadar homosistein yang tinggi. Suplementasi dengan piridoksin, asam folat, B12, atau trimethylglycine (betain) mengurangi konsentrasi homosistein dalam aliran darah.
Hyperhomocysteinemia adalah penyakit yang meningkatkan risiko arteri atau penyakit pembuluh darah. Hyperhomocysteinemia biasanya terjadi pada orang dengan setidaknya satu gen yang rusak, yang mempengaruhi pemecahan homosistein. Hal ini sering dikaitkan dengan folat atau defisiensi cobalamin serta cacat genetik. Keparahan gejala ditentukan oleh seberapa tinggi  tingkat  homocysteine. Penderita umumnya tanpa gejala sampai timbulnya dini penyakit arteri di kemudian hari. Gejala lain seperti keterbelakangan mental hanya terjadi pada kasus yang berat dimana kadar homosisteinsangat tinggi. 
Hyperhomocysteinemia adalah tingkat tinggi homosistein dalam darah manusia. Tingkat tinggi homocysteine ​​membuat seseorang lebih rentan terhadap cedera endotel, yang menyebabkan peradangan pembuluh darah, yang pada gilirannya dapat menyebabkan aterosklerosis, yang dapat menyebabkan cedera iskemi, hyperhomocysteinemia. Karena itu merupakan faktor risiko untuk penyakit arteri koroner. Penyakit arteri koroner adalah ketika sebuah aterosklerosis menyebabkan oklusi dari lumina dari arteri koroner.Pembuluh nadi mensuplai jantung dengan darah teroksigenasi.

2.Hyperhomosisteinemia

1.      DEFINISI HIPERHOMOSISTEINEMIA
Suatu bentuk trombofilia diperoleh akibat tingginya kadar homosistein dalam darah. Hal ini sering dikaitkan dengan defisiensi folat atau kobalamin serta cacat genetik. Keseriusan gejala tergantung pada seberapa tinggi kada homosistein dalam darah. Penderita umumnya tidak merasakan gejala apapun (asymptomatis). Gejala lain seperti keterbelakangan mental hanya terjadi pada kasus yang berat dimana kadar homosistein sangat tinggi.

2.      DIAGNOSIS
Diagnosis hiperhomosisteinemia dibuat dengan mengukur tingkat homosistein total dalam darah. Beberapa orang mewarisi kecacatan yang disebabkan karena hiperhomosisteinemia. Dalam kasus yang langka, pewarisan kecacatan dalam gen, menghasilkan bentuk yang parah darah hiperhomosisteinemia, yang disebut dengan homosistinuria. Orang yang terkena homosistiuria memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap pembekuan darah, dan juga menderita keterbelakangan mental, kelainan tulang, dan masalah penglihatan.

3.      GEJALA
Kelainan pembuluh darah Atherosklerosis : Suatu kondisi yang merupakan salah satu bentuk dari arteriosklerosis, dimana athreomas disebabkan oleh agregasi kolesterol dan lipid. Asymptomatic : Thrombosis : Pembekuan darah yang terjadi di dalam pembuluh darah. Keropos tulang: Sebuah kondisi yan ditandai dengan hilangnya kepadatan tulang dalam tubuh.

4.      PENGOBATAN
Tujuan utama dari pengobatan ini adalah menurunkan kadar darah dari homosistein menjadi normal. Pengobatan dapat terdiri dari pemberian suplemen asam folat, obat antikoagulan (pengencer darah).
Pasien dengan homosistinuria sering diberikan vitamin B6 atau betaine dengan dosis tinggi dan jumlah metionin yang dikonsumsi dalam diet, dapat dibatasi.

5.      PENYEBAB
·         Defisiensi Vitamin B12
·         Defisiensi Cystathionine beta-synthase
·         Defisiensi Methylenetetrahydrofolate reductase
·         Defisiensi Folat
·         Defisiensi Vitamin B6
Penyebab hiperhomosisteinemia adalah multifaktoral.
a.       Genetik
Pada homosistinuria homozigot aktivitas enzim sistasional β  sintase sangat rendah bahkan tidak terdeteksi, sedang kadar homosistein darah meningkat. Karena gen untuk enzim sistasionin β sintase terletak pada kromosom 21, maka pada sindroma Down, atau trisomi 21 dapat dijumpai keadaan yang sebaiknya yaitu peningkatan enzim sistasionin β sintase. Penurunan kadar homosistein plasma dijumpai pada 8 anak dengan sindroma Down. Pengaruh genetik pada konsentrasi homosistein plasma juga terlihat pada orang normal dan pada pasien dengan penyakit vaskuler.

b.      Age/gender
Kadar homosistein plasma meningkat seiring dengan peningkatan usia. Penyebabnya kemungkinan adanya penurunan kadar kofaktor atau adanya kegagalan ginjal yang sering dijumpai pada pasien lanjut usia. Selain itu aktivitas enzim sistasionin β sintase juga menurun seiring dengan bertambahnya usia.

c.       Jenis Kelamin
Secara umum, laki-laki mempunyai kadar homosistein yang lebih tinggi dari wanita. Sesudah menopause konsentrasi homosistein akan meningkat. Perbedaan kadar homosistein pada wania dan pria mungkin disebabkan perbedaan hormon sex tehadap metabolisme homo sistein. Selain itu kadar kreatinin atau massa otot yang besar pada pria juga berpengaruh.

d.      Renal function
Terdapat korelasi postif antara kadar homosistein dan kreatinin serum, walaupun mekanismenya belum jelas. Kelainan artriosklerosos renovaskuler dan faktor prerenal juga sangat penting. Pada gagal ginjal kronik kadar homosistein plasma akan meningkat 2-4 kali dari normal. Konsentrasi ini akan menurun setelah dialisis. Peningkatan homosistein pada gagal ginjal mungkin disebabkan gangguan metabolisme.

e.       Nutrition
Kadar homosistein akan sangat meningkat pada defisiensi kofaktor vitamin B12 atau folat. Korelasi negatif antara kadar folat serum dan B12 telah terbukti pada orang normal. Hiperhomosisteinemia didapat antara lain disebabkan oleh defisiensi asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12. Untuk memperoleh kadar homosistein yang optimal diperlukan kadar yang cukup dari ketiga vitamin itu. Asupan vitamin B6 yang dianjurkan untuk pria adalah 2mg/hari sedang wanita 1,6 mg/hari.

f.       Penyakit
Terdapat beberapa penyakit yang dihubungkan dengan peningkatan kadar homosistein plasma yaitu psoriasis, keganasan dan pemakaian obat-obatan. Psoriasis yangberat dihubungkan dengan peningkatan kadar homosistein plasma. Pada suatu penelitian didapatkan penderita psoriasis mempunyai kadar folat yng lebih rendah dari kelompok kontrol. Peningkatan kadar homosistein juga dijumpai pada leukimia limfoblastik akut. Selain itu beberapa keganasan seperti kanker payudara, ovarium dan pankreas juga menunjukkan peningkatan kadar homosistein. Plasma homosistein juga dipengaruhi oleh obat-obatan seperti methorexate, nitrous oxide, phenytoin, carhamazepine, azaribine, kontrasepsi oral dan penicillamine.

6.      PENGOBATAN HIPERHOMOSISTEINEMIA
Peningkatan kadar homosistein plasma dapat diturunkan secara bermakna dengan terapi vitamin B dan folat terkecuali penderita homosistinuria dengan kadar honosistein yang amat tinggi. Dosis optimal dan terapi kombinasi belum ditentukan dengan pasti, tetapi anjuran di bawah ini dapat dipakai sebagai pedoman.
Asam folat dengan dosis 1-2 mg/hari merupakan pilihan pertama, biarpun dosis 400 ug/ hari sudah cukup untuk penderita dengankelainan primer defisiensi folat. Kebanyakan suplemen multivitamin mengandung 40 ug. Pemakaian piridoksin dengan dosis 10-25 mg/hari dapat berguna sebagai terapi tambahan pada penderita yang penurunan homosisteinnya kurang memadai dengan terapi asam folat. Terapi dengan vitamin B12 saja kurang efektif untuk menurunkan kadar homosistein, kecuali pada defisiensi vitamin B12








BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
·         Hyperhomocysteinemia adalah penyakit yang meningkatkan risiko arteri atau penyakit pembuluh darah.
·         Hyperhomocysteinemia biasanya terjadi pada orang dengan setidaknya satu gen yang rusak, yang mempengaruhi pemecahan homosistein.
·         Diagnosis hiperhomosisteinemia dibuat dengan mengukur tingkat homosistein total dalam darah.
·         Penyebab hiperhomosisteinemia adalah multifaktoral : Genetik, age/gender, jenis kelamin, renal function, nutrition, penyakit dan nutrition.