Monday, 11 March 2019

MALABSORBSI LAKTOSA (LAKTOSE INTOLERANT)

DOWNLOAD VERSI PDF
BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Malabsorbsi laktosa adalah kondisi yang sangat umum terjadi di seluruh dunia, insidennya semakin meningkat dan bervariasi antar etnik.  Intoleransi laktosa disebabkan karena bakteri didalam usus besar memfermentasikan laktosa yang tidak dapat dicerna menjadi asam lemak rantai pendek, hidrogen, metana dan karbon dioksida yang mengakibatkan gejala sakit perut, kembung, dan atau diare (Suchy et al, 2010).
     Menurut konsensus dari Institut Kesehatan Nasional (NIH) mendefinisikan intoleransi laktosa adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan gastrointestinal setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung laktosa, gejala tersebut dapat diketahui melalui Hydrogen Bearth Test (HBT). Banyak orang yang menderita intoleransi laktosa tidak melaporkan kejadiannya sehingga kejadian intoleransi laktosa tidak diketahui prevalensinya (Shaukat et al, 2010)
 Banyak strategi untuk mengurangi gejala gastointestinal akibat intoleransi laktosa yaitu dengan memilih makanan atau minuman yang bebas laktosa atau menguranginya (Keith et al, 2011) memilih makanan atau minuman hasil fermentasi susu (Suchy et al, 2010) mengkombinasikan makanan yang mengandung laktosa dengan makanan lain (Savaiano et al, 2006) minum tablet enzim laktase (Vesa et al, 1996) mengkonsumsi probiotik (Jelema et al, 2010) mengadaptasikan kolon atau sampai dengan pendekatan psikologis (Shaukat et al, 2010). Namun tidak satupun dari strategi ini dapat gejala, maka NIH mempunyai tujuan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi efektivitas dari intervensi mengatasi intoleransi laktosa (Shaukat et al, 2010)
Pada saat ini mengkonsumsi susu segar tanpa pasteurisasi sangat meningkat popularitasnya dan bahkan muncul sebagai gerakan nasional, meskipun  pengakuan bahwa susu segar aman dari bakteri patogen (Oliver et al, 2009). namun produsen susu mengakui bahwa susu segar juga dikaitkan dengan penyakit radang usus dan intoleransi laktosa walaupun klaim ini kurang bukti ilmiah. Apabila dibandingkan dengan yogurt pasteurisasi  dari susu segar, yogurt ini mengandung kultur bakteri hidup  yang mempunyai aktivitas laktase yang secara signifikan mengurangi malabsorbsi laktosa di usus kecil (Vrese et al, 2001). Berkaitan dengan hal tersebut maka susu segar tanpa pasteurisasi juga mengandung sejumlah besar bakteri yang masih hidup seperti bakteri strain lactobacilli (Quiros et al, 2006) Hal ini yang memunculkan hipotesa bahwa tambahan mikroflora dapat membantu mencerna laktosa dibandingkan susu pasteurisasi.

B.     Tujuan
                 Tujuan dari penelitian pilot ini adalah untuk menguji breath hydrogen (H2) yang merupakan ukuran standar dari ditegakkannya diagnosa intolerasi laktosa akan berkurang setelah mengkonsumsi susu segar dibandingkan susu pasteurisasi, penelitian ini  menggunakan susu kedelai sebagai kontrol.


























BAB II
METODELOGI PENELITIAN


A.    Subjek Penelitian
Subjek penelitian diambil dari masyarakat setempat yang berdekatan dengan Universitas Stanford. Kriteria kalayakan untuk menjadi subjek dalam penelitian ini adalah intoleransi laktosa dilaporkan sendiri oleh subjek penelitian dengan intoleransi laktosa yang moderat atau sampai tahap yang parah. Kriteria eksklusi dari penelian ini adalah peserta yang menderita intoleransi laktosa dengan antibiotik, mempunyai riwayat diare pada satu bulan terakhir, mempunyai penyakit gangguan gastrointestinal selain karena intoleransi laktosa.
Peserta yang memenuhi syarat disaring menggunakan HBT standar. Peserta yang masuk dalam penelitian dalah peserta yang mempunyai konsentrasi hidrogen naik menjadi 25 ppm atau lebih tinggi dan yang secara bersamaan mengalami gejala intoleransi laktosa. Peserta menerima 150 dolar sebagai kompensasi. Semua peserta penelitian diberikan penjelasan sebelum penelitian dan menandatangani persetujuan untuk menjadi subjek penelitian ini.

B.     Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain randomise double blind, 3 way crossover. Prosedur yang dilakukan oleh setiap peserta adalah mengkonsumsi 3 jenis sususelama masing-masing 8 hari yaitu susu organik segar, susu organik pasteurisasi dan susu kedelai sebagai kontrol. Setiap 8 hari setelah mengkonsumsi susu, subjek penelitian diberikan fase pengobatan dan fase washout selama 1 minggu. Peserta diminta untuk menghindari makanan dan minuman yang mengandung  laktosa selain produk penelitian.
Komposisi zat gizi susu dan dosis untuk setiap fase selama 8 hari dapat dilihat pada gambar 1. Selama 8 hari subjek diberikan masing-masing produk susu dengan dosis 473 ml, setiap fase dan dosis susu diberikan secara bertahap untuk mengekplorasi secara nyata toleraransi subyek terhadap laktosa. Subyek diberikan pilihan untuk mengkonsumsi kurang dari dosis yang ditentukan pada titik dimana subjek mengalami gejala yang tidak tertahankan. Subjek diwajibkan mengembalikan sisa susu untuk diukur oleh staf penelitian untuk data seberapa banyak susu yang dapat dikonsumsi oleh subjek.
 Penelitian ini dilakukan dengan metode randomize double blind, dimana peneliti tidak mengetahui subjek mana yang mendapatkan produk susu, dan subjek ditentukan secara acak untuk mendapatkan produk susu dan subjek mendapatkan perintah dari masing-masing perlakuan dari perintah tertulis yang dimasukkan didalam sebuah amplop.


C.    Produk Susu
Susu segar yang digunakan adalah susu segar  dan susu pasteurisasi dengan grade A. Susu tersebut diproduksi oleh produsen susu organik Horison. Dari 12 tipe susu yang berbeda terdapat susu kedelai dengan rasa dan penampilan dibuat seperti susu sapi. Kedelai yang digunakanadalah kedelai dengan merk Original Classic yang diproduksioleh The Hain Celestial Group. Komposisi gizi dari produk susu terdapat pada tabel 1.

D.    Blinding
Persiapan dan distribusi masing-masing tipe produk susu untuk memaksimalkan palatabilitas maka masing-masing produk susu diberikan sirup perasa vanila bebas gula dengan merek Torani dengan perbandingan 1:31 untuk memberikan rasa yang sama pada susu. Agar pengambil data tidak mengetahui maka pada masing-masing produk susu diberikan kode oleh peneliti (S.M) untuk produk yang tidak berpartisipasi sementara sebagian peneliti (QV dan JH) untuk susu yang diditribusikan oleh partisipan dan mengingat kembali blinding dan lama penelitian. Semua telah di standarisasi

E.     Pengumpulan Data
Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hydrogren Breath Test, karena alat ini dapat mengukur peningkatan H2 setelah responden mengkonsumsi laktosa sesuai dengan tingkat malabsorsi laktosa. Mereka yang telah memenuhi syarat yang ditentukan skrining survei online awal diundang  untuk menyelesaikan 3 jam HBT. Nilai HBT menunjukkan adanya sampel udara yang mengandung 20 ml atau lebih dikumpulkan sebelum dan pada 9 interval 20 menit berturut-turut setelah beban oral 25 g laktosa dilarutkan dalam air, dengan melanjutkan puasa selama  3 jam tes. Konsntrasi H2 yang expired disimpan dalam tabung plastik dengan stopcoks dan ukuran dalam 12 jam dalam bagian perseribu dengan ker dengan H2 Mic menggunakan kromatografi gas (Breath Tracrolyzer, model SC, Quintron Instrument). Peserta dengan tingkat level H2 naik 25 ppm atau lebih diatas nilai dasar dan yang mengalami gejala laktosa intoleransi selama pengujian dimasukkan dalam penelitian.
Setelah mendaftar, pada hari 1 dan 8 masing-masing fase, peserta menyelesaikan sama 4 jam HBT setelah konsumsi susu ditugaskan. Sampel dikumpulkan untuk 4 bukan 3 jam selama pengujian dilakukan dengan studi milks untuk menjelaskan lagi waktu pencernaan susu relatif terhadap solusi laktosa digunakan untuk HBT screening. Konsentrasi H2 yang dinyatakan sebagai daerah di bawah kurva H2 atas dasar (AUC ΔH2) di bagian per  juta per menit per 10-2 (ppm · min · 10-2), dihitung sesuai dengan aturan linear trapesium mengabaikan setiap daerah di bawah baseline, 37 dan peningkatan semaksimal lebih konsentrasi dasar (peak ΔH2) di bagian per million.








F.     Gejala Intoleransi Laktosa
Gejala yang sering ditemui pada intoleransi laktosa adalah flatus/gas, diare, audible bowel dan abdominal cramping. Log /catatan dilengkapi dengan 52 poin. 4 kali selama skrining  di HBT (pada saat di garis dasar dan 3 berurutan 1 jam berurutan) 5 kali selama HBT dalam 1 hari 8 pada masing-masing fase (pada garis dasar dan 4 berturu-turut interval 1 jam) satu kali perhari dan 2 hari selama 7 pada masing-masing fase.

G.    Metode Statistik
Ukuran sampel ditentukan berdasarkan seleksi dari 25% dengan AUC H2. Analisis data  menggunakan analisis varian ANOVA. Kemudian untuk menguji perbedaan efek klinis  1,0 dengan disain crossover secara signifikan, ini menentukan 15 subjek dengan yield 95% dengan α = 0,05 untuk mengetahui 25% penurunan. Perbedaan dalam AUC H2 dan  puncak konsentrasi ΔH2 (hasil utama) diantara produk susu yang digunakan dengan dinilai dengan uji analisis varian ANNOVA. Uji ANNOVA juga dilakukan untuk menilai hasil kedua (secondary outcome) yaitu hasil pengukuran H2 dan  tingkat munculnya gejala malabsorbsi laktosa untuk mengji beda digunakan uji match pairs t test. Uji ini juga digunakan untuk uji beda untuk         AUC ΔH2  dan konsentrasi puncak ΔH2  antara hari 1 dan 8 pada masing-masing fase. Pada analisis masing-masing, hanya peserta penelitian dengan hasil yang lengkap yang dimasukkan dalam pengujian statistik. Semua uji statistik yang 2-tailed menggunakan α <0 o:p="">












BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN


A.    Hasil Penelitian pasa Studi Populasi
Peserta pendaftaran dimulai pada Mei 2010, dan studi yang berakhir pada September 2010. Dari 63 calon peserta disaring menggunakan HBT, 27 (43%) diuji positif laktosa malabsorpsi   (Gambar 2), semua siapa melaporkan gejala intoleransi laktosa selama yang HBT. Di antaranya 27 orang, 11 memilih untuk tidak melanjutkan. Diantara 16 responden yang diaca melanjutkan. Di antara 16 peserta yang diacak, 2 sampai 4 ditugaskan untuk masing-masing dari 6 mungkin mendapatkan produk susu penelitian. Peserta berusia rata-rata 40 tahun (SD = 14 tahun), dengan rata-rata mempunyai pendidikan selama 16 tahun/ sarjana (SD = 3 tahun), dan memiliki rata-rata indeks massa tubuh 24 kg / m2 (SD = 2 kg / m2).


B.     Retensi dan Kepatuhan
Semua 16 peserta menyelesaikan semua 3 tahap susu. di sana adalah 100% kepatuhan pada hari 1 dari semua 3 fase susu. Empat peserta gagal mematuhi penuh 8-hari protokol selama 1 dari fase 3 susu: 3 peserta memilih untuk mengkonsumsi kurang dari dosis yang diberikan selama 1 dari fase karena gejala yang tak tertahankan, dan 1 peserta sengaja tidak mengkonsumsi susu di hari 6 dari fase R.
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kepatuhan terhadap protokol konsumsi susu di antara 3 fase susu (P = 0,3), dan 90% atau lebih dari susu keseluruhan ditugaskan asupan yang dikonsumsi oleh 88%, 94%, dan 100% dari peserta selama R, P, dan fase S,  masing-masing.

C.     Blinding.
Dari 16 peserta, 12 (80%) dengan benar menduga tugas untuk tahap susu kedelai, sedangkan 6 (40%) dengan benar diidentifikasi baik susu susu. Identifikasi sukses tugas susu meningkat dengan masing-masing berturut-turut fase susu dari 43% menjadi 69% untuk 88% selama pertama, kedua, dan ketiga fase.

D.    Hasil Pengukuran H2
H2 Hasil Berarti produksi H2 (± standard error mean [SEM]) selama yang HBT pada hari 1 ditampilkan pada Gambar 3a dan pada hari ke-8 akan ditampilkan di Gambar 3b. AUC ΔH2 dan konsentrasi ΔH2 puncak untuk kedua hari 1 dan 8 ditunjukkan pada Tabel 2. Bertentangan dengan apa yang dihipotesiskan, pada hari 1, konsentrasi ΔH2 baik AUC ΔH2 dan puncak secara signifikan lebih tinggi untuk relatif terhadap P (P = .01). Sebaliknya, pada hari 8, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara R dan P (P = 0,9). Pada hari kedua 1 dan 8, konsentrasi ΔH2 AUC ΔH2 dan puncak secara signifikan lebih tinggi untuk 2 susu susu (R dan P) relatif terhadap susu kedelai (P <.001). AUC ΔH2 dan puncak Konsentrasi ΔH2 antara hari 1 dan 8 menunjukkan penurunan yang signifikan batas produksi H2 selama kursus dari fase R (P = .05, dan 0,06, masing-masing) (Tabel 2). Tidak ada perubahan yang signifikan diamati untuk tahap P (P> 0,6) atau S fase (P = 0,7).





E.     Outcome dari Symtom
Dosis susu tertinggi, 710 mL (24 oz), terjadi pada hari ke 7 dari setiap fase susu dan menghasilkan gejala yang paling parah relatif terhadap semua hari, seperti yang akan diharapkan. Semua kecuali 3 peserta dapat menyelesaikan penelitian ini dan mengkonsumsi 3 fase susu. Gejala yang muncul dilaporkan sendiri tingkat keparahan (± SEM) yang ditampilkan dalam Gambar 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan di tingkat keparahan antara susu segar dan susu pasteurisasi pada beberapa kategori untuk salah satu dari 4 kategori (P> 0,7)



F.     Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan apakah malabsorbsi atau gejala intoleransi laktosa yang dialami orang dewasa yang intoleransi laktosa. Hipotesis dalam penelitian ini adalah apakah mengkonsumsi susu segar dapat mempengaruhi mengurangi malabsorbsi akibat intoleransi laktosa dibandingkan susu pasteurisasi.  Dalam penelitian ini hipotesis ini tidak didukung. Sebaliknya hasil H2 menunjukkan derajat malabsorbsi laktosa lebih tinggi padasusu segar dibandingkan susu pasteurisasi pada hari ke 1, dan hasil  H2 menunjukan tingkat  malabsorbsi laktosa yang sama pada kedua susu pada hari ke 8. Gejala yang ditimbulkan hampir sama pada kedua susu pada hari ke tujuh. Penggunaan susu kedelai sebagai kontrol menunjukkan bahwa gejala yang muncul pada peserta adalah benar dari konsumsi kedua susu akibat dari malabsorbsi laktosa dan gejala intoleran. Secara keseluruhan penelitian ini menyatakan tidak ada bukti yang mengatakan bahwa susu segar lebih mudah diterima oleh orang dewasa yang positif intoleransi laktosa baik secara subjektif dan objektif.
Penelitian sebelumya telah menunjukkan bahwa yogurt dari susu segar yang belum dipasteurisasi mengandung mikroflora tambahan yang dapat mengurangi laktosa intoleransi lebih baik dibandingkan yogurt yang berasal dari susu yang telah dipasteurisasi (Vrese de M, et al. 2001) Dalam penelitian ini tidak membahas viskositas lebih besar dari yogurt yang memperpanjang waktu pencernaan memungkinkan  lebih banyak mikroflora yang dapat menghidrolisis latosa dalam usus kecil (Vrese de M, et al. 2001). Temuan pada saat ini susu segar sejajar dengan susu sweet acidophilus yang mengandung bakteri hidup tetapi tidak mengurangi malabsorbsi laktosa. Menariknya susu segar secara signifikan lebih besar produksi H2 dibandingkan dengan susu pasteurisasi pada hari ke 1 tetapi tidak pada hari ke 8. Hal ini belum dapat dijelaskan. Meskipun pengurangan produksi H2 terjadi pada hari ke 8 dibandingkan pada hari ke 1, menunjukkan adanya adaptasi setelah mengkonsumsi susu segar sebanding dengan  tingkat malabsorbsi laktose pada susu pasteurisasi. Temuan ini tidak mendukung hipotesis adaptasi koloni untuk susu konvensional pada penelitian Randomize Control Trial lainnya. Temuan menegaskan bahwa kesimpulan yang ditarik oleh NIH bahwa intoleransi laktosa bukan merupakan malabsorbsi laktosa.
Penelitian dari 150 sampel produk susu ditemukan insiden dari bakteri Clostridium  sporogenes yang etrtinggi adalah di susu murni yaitu 11 (22%), curd 7(4%), dan keju 2(4%). Adanya bakteri strains termasuk Clostridium  sporogenes  dapat menyebabkan keracunan makanan dan masalah kesehatan lainnya seperti alergi (Chaturvedi A et al, 2015)
Susu segar tanpa pasteurisasi tidak dianjurkan dikonsumsi oleh ibu hamil, anak dan bayi karena beresiko terinfeksi bakteri patogen dari susu yang dapat berasal dari lingkungan yang kurang sehat, tanah dan kotoran (AAP, 2014).

G.    Kelebihan Penelitian
1.      Penelitian ini merupakan penelitian RCT pertama yang menilai pengaruh susu segar terhadap gejala pada intoleransi laktosa
2.      Menggunakan dua pengukuran yaitu pengukuran secara objektif dengan pengukuran (Breath H2) dan pengukuran secara subjektif dengan laporan gejala intoleransi laktosa dari subjek penelitian.
3.      Menggunakan susu kedelai sebagai kontrol.
4.      Menggunakan desain Double Blind pada enumerator dan subjek penelitian sehingga meningkatkan ketelitian penelitian.


H.    Kekurangan Penelitian
1.      Penelitian ini menggunakan sampel yang sedikit sehingga tidak dapat mewakili kejadian pada suku atau ras yang berbeda.
2.      Delapan hari perlakuan merupakan waktu yang singkat untuk menilai perubahan adaptasi dari intoleransi laktosa. 
3.      Jurnal ini tidak memberikan kesimpulan secara eksplisit sehingga dapat menimbulkan keraguan pada pembaca jurnal.



























DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatric, 2014. Consumption of Raw or Unpasteurized Milk and Milk Products by Pregnant Women and Children. Commitee on Infectious Diseases and Commitee on Nutrition.
Chaturvedi A, Sangeeta Shukla, Ankita Gautam, Vinay Kumar, 2015. Incidence of spore forming Clostridium sporogenes in different dairy products and their industrial and public health significance. ISSN: 2277- 7695 TPI 3(11): 30-32
Jellema P, Schellevis FG, van der Windt DA, Kneepkens CM, vander Horst HE. 2010. Lactose malabsorption and intolerance: a systematic review on the diagnostic value of gastrointestinal symptoms and self-reported milk intolerance. QJM.103(8):555-572.
Keith JN, Nicholls J, Reed A, Kafer K, Miller GD. 2011. The prevalence of self-reported lactose intolerance and the consumption of dairy foods among African American adults are less than expected. J Natl Med Assoc.103(1):36-45.
Law D, Conklin J, Pimentel M. 2010. Lactose intolerance and the role of the lactose breath test. Am J Gastroenterol.105(8):1726-1728.
McBean LD, Miller GD. Allaying fears and fallacies about lactose Oliver SP, Boor KJ, Murphy SC, Murinda SE. 2009. Food safety hazards associated with consumption of raw milk. Foodborne Pathog Dis 6(7):793-806.
Suchy FJ, Brannon PM, Carpenter TO, et al.2010. National Institutes of Health Consensus Development Conference: lactose intolerance and health. Ann Intern Med. 152(12):792-796.
Savaiano DA, Boushey CJ, McCabe GP. 2006. Lactose intolerance symptoms assessed by meta-analysis: a grain of truth that leads to exaggeration. J Nutr. 136(4):1107-1113.
Shaukat A, Levitt MD, Taylor BC, et al.2010. Systematic review: effective management strategies for lactose intolerance. Ann Intern Med. 152(12):797-803.
 Quirós A, Ramos M, Muguerza B, et al.2006. Determination of the antihypertensive peptide LHLPLP in fermented milk by highperformance liquid chromatography-mass spectrometry. J Dairy Sci. 89(12):4527-4535.
Vrese M, Stegelmann A, Richter B, Fenselau S, Laue C, Schrezenmeir. 2001. Probiotics—compensation for lactase insufficiency. Am J Clin Nutr. 73(2)(Suppl):421S-429S.
Vesa TH, Korpela RA, Sahi T. 1996. Tolerance to small amounts of lactose in lactose maldigesters. Am J Clin Nutr. 64(2):197-201.

.