BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Malabsorbsi laktosa adalah kondisi yang
sangat umum terjadi di seluruh dunia, insidennya semakin meningkat dan
bervariasi antar etnik. Intoleransi
laktosa disebabkan karena bakteri didalam usus besar memfermentasikan laktosa
yang tidak dapat dicerna menjadi asam lemak rantai pendek, hidrogen, metana dan
karbon dioksida yang mengakibatkan gejala sakit perut, kembung, dan atau diare
(Suchy et al, 2010).
Menurut konsensus dari Institut Kesehatan
Nasional (NIH) mendefinisikan intoleransi laktosa adalah sindrom klinis yang
ditandai dengan gangguan gastrointestinal setelah mengkonsumsi makanan atau
minuman yang mengandung laktosa, gejala tersebut dapat diketahui melalui Hydrogen Bearth Test (HBT). Banyak orang
yang menderita intoleransi laktosa tidak melaporkan kejadiannya sehingga
kejadian intoleransi laktosa tidak diketahui prevalensinya (Shaukat et al, 2010)
Banyak
strategi untuk mengurangi gejala gastointestinal akibat intoleransi laktosa
yaitu dengan memilih makanan atau minuman yang bebas laktosa atau menguranginya
(Keith et al, 2011) memilih makanan
atau minuman hasil fermentasi susu (Suchy et
al, 2010) mengkombinasikan makanan yang mengandung laktosa dengan makanan
lain (Savaiano et al, 2006) minum
tablet enzim laktase (Vesa et al,
1996) mengkonsumsi probiotik (Jelema et
al, 2010) mengadaptasikan kolon atau sampai dengan pendekatan psikologis
(Shaukat et al, 2010). Namun tidak
satupun dari strategi ini dapat gejala, maka NIH mempunyai tujuan untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi efektivitas dari
intervensi mengatasi intoleransi laktosa (Shaukat et al, 2010)
Pada saat ini mengkonsumsi susu segar tanpa
pasteurisasi sangat meningkat popularitasnya dan bahkan muncul sebagai gerakan
nasional, meskipun pengakuan bahwa susu segar
aman dari bakteri patogen (Oliver et al,
2009). namun produsen susu mengakui bahwa susu segar juga dikaitkan dengan
penyakit radang usus dan intoleransi laktosa walaupun klaim ini kurang bukti
ilmiah. Apabila dibandingkan dengan yogurt pasteurisasi dari susu segar, yogurt ini mengandung kultur
bakteri hidup yang mempunyai aktivitas
laktase yang secara signifikan mengurangi malabsorbsi laktosa di usus kecil
(Vrese et al, 2001). Berkaitan dengan
hal tersebut maka susu segar tanpa pasteurisasi juga mengandung sejumlah besar
bakteri yang masih hidup seperti bakteri strain
lactobacilli (Quiros et al, 2006)
Hal ini yang memunculkan hipotesa bahwa tambahan mikroflora dapat membantu
mencerna laktosa dibandingkan susu pasteurisasi.
B.
Tujuan
Tujuan dari penelitian pilot ini
adalah untuk menguji breath hydrogen (H2) yang merupakan ukuran
standar dari ditegakkannya diagnosa intolerasi laktosa akan berkurang setelah
mengkonsumsi susu segar dibandingkan susu pasteurisasi, penelitian ini menggunakan susu kedelai sebagai kontrol.
BAB
II
METODELOGI
PENELITIAN
A.
Subjek
Penelitian
Subjek
penelitian diambil dari masyarakat setempat yang berdekatan dengan Universitas
Stanford. Kriteria kalayakan untuk menjadi subjek dalam penelitian ini adalah
intoleransi laktosa dilaporkan sendiri oleh subjek penelitian dengan intoleransi
laktosa yang moderat atau sampai tahap yang parah. Kriteria eksklusi dari
penelian ini adalah peserta yang menderita intoleransi laktosa dengan
antibiotik, mempunyai riwayat diare pada satu bulan terakhir, mempunyai
penyakit gangguan gastrointestinal selain karena intoleransi laktosa.
Peserta
yang memenuhi syarat disaring menggunakan HBT standar. Peserta yang masuk dalam
penelitian dalah peserta yang mempunyai konsentrasi hidrogen naik menjadi 25
ppm atau lebih tinggi dan yang secara bersamaan mengalami gejala intoleransi
laktosa. Peserta menerima 150 dolar sebagai kompensasi. Semua peserta
penelitian diberikan penjelasan sebelum penelitian dan menandatangani
persetujuan untuk menjadi subjek penelitian ini.
B.
Disain
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan desain randomise double blind, 3 way crossover. Prosedur yang
dilakukan oleh setiap peserta adalah mengkonsumsi 3 jenis sususelama
masing-masing 8 hari yaitu susu organik segar, susu organik pasteurisasi dan susu
kedelai sebagai kontrol. Setiap 8 hari setelah mengkonsumsi susu, subjek
penelitian diberikan fase pengobatan dan fase washout selama 1 minggu. Peserta
diminta untuk menghindari makanan dan minuman yang mengandung laktosa selain produk penelitian.
Komposisi
zat gizi susu dan dosis untuk setiap fase selama 8 hari dapat dilihat pada gambar
1. Selama 8 hari subjek diberikan masing-masing produk susu dengan dosis 473
ml, setiap fase dan dosis susu diberikan secara bertahap untuk mengekplorasi
secara nyata toleraransi subyek terhadap laktosa. Subyek diberikan pilihan
untuk mengkonsumsi kurang dari dosis yang ditentukan pada titik dimana subjek
mengalami gejala yang tidak tertahankan. Subjek diwajibkan mengembalikan sisa
susu untuk diukur oleh staf penelitian untuk data seberapa banyak susu yang
dapat dikonsumsi oleh subjek.
Penelitian ini dilakukan dengan metode randomize double blind, dimana peneliti
tidak mengetahui subjek mana yang mendapatkan produk susu, dan subjek
ditentukan secara acak untuk mendapatkan produk susu dan subjek mendapatkan
perintah dari masing-masing perlakuan dari perintah tertulis yang dimasukkan
didalam sebuah amplop.
C.
Produk
Susu
Susu segar yang digunakan adalah susu
segar dan susu pasteurisasi dengan grade
A. Susu tersebut diproduksi oleh produsen susu organik Horison. Dari 12 tipe
susu yang berbeda terdapat susu kedelai dengan rasa dan penampilan dibuat
seperti susu sapi. Kedelai yang digunakanadalah kedelai dengan merk Original
Classic yang diproduksioleh The Hain Celestial Group. Komposisi gizi dari
produk susu terdapat pada tabel 1.
D.
Blinding
Persiapan dan distribusi masing-masing
tipe produk susu untuk memaksimalkan palatabilitas maka masing-masing produk
susu diberikan sirup perasa vanila bebas gula dengan merek Torani dengan
perbandingan 1:31 untuk memberikan rasa yang sama pada susu. Agar pengambil
data tidak mengetahui maka pada masing-masing produk susu diberikan kode oleh
peneliti (S.M) untuk produk yang tidak berpartisipasi sementara sebagian
peneliti (QV dan JH) untuk susu yang diditribusikan oleh partisipan dan
mengingat kembali blinding dan lama penelitian. Semua telah di standarisasi
E.
Pengumpulan
Data
Uji yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Hydrogren Breath Test, karena alat ini dapat mengukur peningkatan H2
setelah responden mengkonsumsi laktosa sesuai dengan tingkat malabsorsi
laktosa. Mereka yang telah memenuhi syarat yang ditentukan skrining survei online
awal diundang untuk menyelesaikan 3 jam
HBT. Nilai HBT menunjukkan adanya sampel udara yang mengandung 20 ml atau lebih
dikumpulkan sebelum dan pada 9 interval 20 menit berturut-turut setelah beban
oral 25 g laktosa dilarutkan dalam air, dengan melanjutkan puasa selama 3 jam tes. Konsntrasi H2 yang expired
disimpan dalam tabung plastik dengan stopcoks dan ukuran dalam 12 jam dalam
bagian perseribu dengan ker dengan H2 Mic menggunakan kromatografi
gas (Breath Tracrolyzer, model SC, Quintron Instrument). Peserta dengan tingkat
level H2 naik 25 ppm atau lebih diatas nilai dasar dan yang
mengalami gejala laktosa intoleransi selama pengujian dimasukkan dalam
penelitian.
Setelah mendaftar, pada hari 1 dan 8
masing-masing fase, peserta menyelesaikan sama 4 jam HBT setelah konsumsi susu
ditugaskan. Sampel dikumpulkan untuk 4 bukan 3 jam selama pengujian dilakukan
dengan studi milks untuk menjelaskan lagi waktu pencernaan susu relatif
terhadap solusi laktosa digunakan untuk HBT screening. Konsentrasi H2
yang dinyatakan sebagai daerah di bawah kurva H2 atas dasar (AUC
ΔH2) di bagian per juta per menit per 10-2
(ppm · min · 10-2), dihitung sesuai dengan aturan linear trapesium
mengabaikan setiap daerah di bawah baseline, 37 dan peningkatan semaksimal
lebih konsentrasi dasar (peak ΔH2) di bagian per million.
F.
Gejala
Intoleransi Laktosa
Gejala yang sering ditemui pada
intoleransi laktosa adalah flatus/gas, diare, audible bowel dan abdominal cramping.
Log /catatan dilengkapi dengan 52 poin. 4 kali selama skrining di HBT (pada saat di garis dasar dan 3
berurutan 1 jam berurutan) 5 kali selama HBT dalam 1 hari 8 pada masing-masing
fase (pada garis dasar dan 4 berturu-turut interval 1 jam) satu kali perhari
dan 2 hari selama 7 pada masing-masing fase.
G.
Metode
Statistik
Ukuran sampel ditentukan berdasarkan seleksi
dari 25% dengan AUC H2. Analisis data
menggunakan analisis varian ANOVA. Kemudian untuk menguji perbedaan efek
klinis 1,0 dengan disain crossover secara signifikan, ini
menentukan 15 subjek dengan yield 95% dengan α
= 0,05 untuk mengetahui 25% penurunan. Perbedaan dalam AUC H2
dan puncak konsentrasi ΔH2 (hasil utama)
diantara produk susu yang digunakan dengan dinilai dengan uji analisis varian
ANNOVA. Uji ANNOVA juga dilakukan untuk menilai hasil kedua (secondary outcome)
yaitu hasil pengukuran H2 dan
tingkat munculnya gejala malabsorbsi laktosa untuk mengji beda digunakan
uji match pairs t test. Uji ini juga digunakan untuk uji beda untuk AUC ΔH2 dan konsentrasi puncak ΔH2 antara hari 1 dan 8 pada masing-masing fase.
Pada analisis masing-masing, hanya peserta
penelitian dengan hasil yang lengkap yang dimasukkan dalam pengujian statistik.
Semua uji statistik yang 2-tailed menggunakan α <0 o:p="">0>
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Penelitian pasa Studi Populasi
Peserta pendaftaran dimulai pada Mei
2010, dan studi yang berakhir pada September 2010. Dari 63 calon peserta disaring
menggunakan HBT, 27 (43%) diuji positif laktosa malabsorpsi (Gambar 2), semua siapa melaporkan gejala
intoleransi laktosa selama yang HBT. Di antaranya 27 orang, 11 memilih untuk
tidak melanjutkan. Diantara 16 responden yang diaca melanjutkan.
Di antara 16 peserta yang diacak, 2 sampai 4 ditugaskan untuk masing-masing
dari 6 mungkin mendapatkan produk susu penelitian. Peserta berusia rata-rata 40
tahun (SD = 14 tahun), dengan rata-rata mempunyai pendidikan selama 16 tahun/
sarjana (SD = 3 tahun), dan memiliki rata-rata indeks massa tubuh 24 kg / m2
(SD = 2 kg / m2).
B.
Retensi
dan Kepatuhan
Semua 16 peserta menyelesaikan semua 3 tahap
susu. di sana adalah 100% kepatuhan pada hari 1 dari semua 3 fase susu. Empat
peserta gagal mematuhi penuh 8-hari protokol selama 1 dari fase 3 susu: 3
peserta memilih untuk mengkonsumsi kurang dari dosis yang diberikan selama 1
dari fase karena gejala yang tak tertahankan, dan 1 peserta sengaja tidak
mengkonsumsi susu di hari 6 dari fase R.
Tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam kepatuhan terhadap protokol konsumsi susu di antara 3 fase susu (P = 0,3),
dan 90% atau lebih dari susu keseluruhan ditugaskan asupan yang dikonsumsi oleh
88%, 94%, dan 100% dari peserta selama R, P, dan fase S, masing-masing.
C.
Blinding.
Dari 16 peserta, 12 (80%) dengan benar menduga
tugas untuk tahap susu kedelai, sedangkan 6 (40%) dengan benar diidentifikasi
baik susu susu. Identifikasi sukses tugas susu meningkat dengan masing-masing
berturut-turut fase susu dari 43% menjadi 69% untuk 88% selama pertama, kedua,
dan ketiga fase.
D.
Hasil
Pengukuran H2
H2 Hasil Berarti produksi H2
(± standard error mean [SEM]) selama yang HBT pada hari 1 ditampilkan pada
Gambar 3a dan pada hari ke-8 akan ditampilkan di Gambar 3b. AUC ΔH2
dan konsentrasi ΔH2 puncak untuk kedua hari 1 dan 8 ditunjukkan pada Tabel 2.
Bertentangan dengan apa yang dihipotesiskan, pada hari 1, konsentrasi ΔH2
baik AUC ΔH2 dan puncak secara signifikan lebih tinggi untuk relatif
terhadap P (P = .01). Sebaliknya, pada hari 8, tidak ada perbedaan signifikan
yang diamati antara R dan P (P = 0,9). Pada hari kedua 1 dan 8, konsentrasi ΔH2
AUC ΔH2 dan puncak secara signifikan lebih tinggi untuk 2 susu susu
(R dan P) relatif terhadap susu kedelai (P <.001). AUC ΔH2 dan puncak Konsentrasi
ΔH2 antara hari 1 dan 8 menunjukkan penurunan yang signifikan batas
produksi H2 selama kursus dari fase R (P = .05, dan 0,06,
masing-masing) (Tabel 2). Tidak ada perubahan yang signifikan diamati untuk
tahap P (P> 0,6) atau S fase (P = 0,7).
E.
Outcome
dari Symtom
Dosis susu tertinggi, 710 mL (24 oz), terjadi
pada hari ke 7 dari setiap fase susu dan menghasilkan gejala yang paling parah relatif
terhadap semua hari, seperti yang akan diharapkan. Semua kecuali 3 peserta dapat
menyelesaikan penelitian ini dan mengkonsumsi 3 fase susu. Gejala yang muncul
dilaporkan sendiri tingkat keparahan (± SEM) yang ditampilkan dalam Gambar 4.
Tidak ada perbedaan yang signifikan di tingkat keparahan antara susu segar dan susu
pasteurisasi pada beberapa kategori untuk salah satu dari 4 kategori (P>
0,7)
F.
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk
menentukan apakah malabsorbsi atau gejala intoleransi laktosa yang dialami
orang dewasa yang intoleransi laktosa. Hipotesis dalam penelitian ini adalah
apakah mengkonsumsi susu segar dapat mempengaruhi mengurangi malabsorbsi akibat
intoleransi laktosa dibandingkan susu pasteurisasi. Dalam penelitian ini hipotesis ini tidak
didukung. Sebaliknya hasil H2 menunjukkan derajat malabsorbsi
laktosa lebih tinggi padasusu segar dibandingkan susu pasteurisasi pada hari ke
1, dan hasil H2 menunjukan
tingkat malabsorbsi laktosa yang sama
pada kedua susu pada hari ke 8. Gejala yang ditimbulkan hampir sama pada kedua
susu pada hari ke tujuh. Penggunaan susu kedelai sebagai kontrol menunjukkan
bahwa gejala yang muncul pada peserta adalah benar dari konsumsi kedua susu
akibat dari malabsorbsi laktosa dan gejala intoleran. Secara keseluruhan penelitian
ini menyatakan tidak ada bukti yang mengatakan bahwa susu segar lebih mudah
diterima oleh orang dewasa yang positif intoleransi laktosa baik secara
subjektif dan objektif.
Penelitian sebelumya telah menunjukkan
bahwa yogurt dari susu segar yang belum dipasteurisasi mengandung mikroflora
tambahan yang dapat mengurangi laktosa intoleransi lebih baik dibandingkan yogurt
yang berasal dari susu yang telah dipasteurisasi (Vrese de M, et al. 2001) Dalam penelitian ini tidak
membahas viskositas lebih besar dari yogurt yang memperpanjang waktu pencernaan
memungkinkan lebih banyak mikroflora
yang dapat menghidrolisis latosa dalam usus kecil (Vrese de M, et al. 2001). Temuan pada saat ini susu
segar sejajar dengan susu sweet acidophilus yang mengandung bakteri hidup
tetapi tidak mengurangi malabsorbsi laktosa. Menariknya susu segar secara signifikan
lebih besar produksi H2 dibandingkan dengan susu pasteurisasi pada
hari ke 1 tetapi tidak pada hari ke 8. Hal ini belum dapat dijelaskan. Meskipun
pengurangan produksi H2 terjadi pada hari ke 8 dibandingkan pada
hari ke 1, menunjukkan adanya adaptasi setelah mengkonsumsi susu segar
sebanding dengan tingkat malabsorbsi
laktose pada susu pasteurisasi. Temuan ini tidak mendukung hipotesis adaptasi
koloni untuk susu konvensional pada penelitian Randomize Control Trial lainnya. Temuan menegaskan bahwa kesimpulan
yang ditarik oleh NIH bahwa intoleransi laktosa bukan merupakan malabsorbsi
laktosa.
Penelitian dari 150 sampel produk susu
ditemukan insiden dari bakteri Clostridium
sporogenes yang etrtinggi adalah di susu murni yaitu 11 (22%), curd
7(4%), dan keju 2(4%). Adanya bakteri strains termasuk Clostridium sporogenes
dapat menyebabkan keracunan makanan dan masalah kesehatan lainnya
seperti alergi (Chaturvedi A et al, 2015)
Susu segar tanpa pasteurisasi tidak
dianjurkan dikonsumsi oleh ibu hamil, anak dan bayi karena beresiko terinfeksi
bakteri patogen dari susu yang dapat berasal dari lingkungan yang kurang sehat,
tanah dan kotoran (AAP, 2014).
G.
Kelebihan
Penelitian
1. Penelitian
ini merupakan penelitian RCT pertama yang menilai pengaruh susu segar terhadap
gejala pada intoleransi laktosa
2. Menggunakan
dua pengukuran yaitu pengukuran secara objektif dengan pengukuran (Breath H2) dan pengukuran
secara subjektif dengan laporan gejala intoleransi laktosa dari subjek
penelitian.
3. Menggunakan
susu kedelai sebagai kontrol.
4. Menggunakan
desain Double Blind pada enumerator
dan subjek penelitian sehingga meningkatkan ketelitian penelitian.
H.
Kekurangan
Penelitian
1. Penelitian
ini menggunakan sampel yang sedikit sehingga tidak dapat mewakili kejadian pada
suku atau ras yang berbeda.
2. Delapan
hari perlakuan merupakan waktu yang singkat untuk menilai perubahan adaptasi
dari intoleransi laktosa.
3. Jurnal
ini tidak memberikan kesimpulan secara eksplisit sehingga dapat menimbulkan
keraguan pada pembaca jurnal.
DAFTAR
PUSTAKA
American Academy of Pediatric, 2014. Consumption of Raw or Unpasteurized Milk and
Milk Products by Pregnant Women and Children. Commitee on Infectious
Diseases and Commitee on Nutrition.
Chaturvedi A, Sangeeta Shukla, Ankita
Gautam, Vinay Kumar, 2015. Incidence of spore forming Clostridium sporogenes in
different dairy products and their industrial and public health significance.
ISSN: 2277- 7695 TPI 3(11): 30-32
Jellema P, Schellevis FG, van der Windt
DA, Kneepkens CM, vander Horst HE. 2010. Lactose malabsorption and intolerance:
a systematic review on the diagnostic value of gastrointestinal symptoms and
self-reported milk intolerance. QJM.103(8):555-572.
Keith JN, Nicholls J, Reed A, Kafer K,
Miller GD. 2011. The prevalence of
self-reported lactose intolerance and the consumption of dairy foods among
African American adults are less than expected. J Natl Med Assoc.103(1):36-45.
Law D, Conklin J, Pimentel M. 2010.
Lactose intolerance and the role of the lactose breath test. Am J
Gastroenterol.105(8):1726-1728.
McBean LD, Miller GD. Allaying fears and
fallacies about lactose Oliver SP, Boor KJ, Murphy SC, Murinda SE. 2009. Food
safety hazards associated with consumption of raw milk. Foodborne Pathog Dis
6(7):793-806.
Suchy FJ, Brannon PM, Carpenter TO, et
al.2010. National Institutes of Health
Consensus Development Conference: lactose intolerance and health. Ann Intern
Med. 152(12):792-796.
Savaiano DA, Boushey CJ, McCabe GP.
2006. Lactose intolerance symptoms assessed
by meta-analysis: a grain of truth that leads to exaggeration. J Nutr.
136(4):1107-1113.
Shaukat A, Levitt MD, Taylor BC, et al.2010.
Systematic review: effective management
strategies for lactose intolerance. Ann Intern Med. 152(12):797-803.
Quirós A, Ramos M, Muguerza B, et al.2006. Determination of the antihypertensive peptide LHLPLP in fermented milk
by highperformance liquid chromatography-mass spectrometry. J Dairy Sci. 89(12):4527-4535.
Vrese M, Stegelmann A, Richter B,
Fenselau S, Laue C, Schrezenmeir. 2001. Probiotics—compensation for lactase
insufficiency. Am J Clin Nutr. 73(2)(Suppl):421S-429S.
Vesa TH, Korpela RA, Sahi T. 1996.
Tolerance to small amounts of lactose in lactose maldigesters. Am J Clin Nutr.
64(2):197-201.
.